Tentang Mbah Kuri Ponorogo

Suatu sore saya hendak ke lantai dua ruang kelas Pondok Pesantren itu. Dengan niat ingin mengerjakan tugas hafalan wirid setelah sholat, saya sudah mempersiapkan otak untuk konsentrasi di suasana sepi sore itu. Lantai dua gedung kelas itu terbuat dari papan-papan kayu jati yang kuat, kendati begitu suara kerenyitan masih saja ada. Mulai naik tangga yang juga terbuat dari kayu, saya mantabkan hati ke balkon lantai dua untuk menghafal setegah dari yang tertulis di kertas A4 laminatingan di tangan saya. Menginjak anak tangga terakhir, kemudia kelantainya lalu.. kriiit.. Haaeoo.. !! . Seketika jantung berdebar-debar saking kagetnya, takut dan panik. Tiba-tiba saja terdengar semacam teriakan melengking tidak beraturan, bukan teriakan, bukan juga sebuah jeritan.

Dalam keadaan begitu saya segera tersadar bahwa sumber suara berasal dari sisi dalam ruangan itu yang gelap karena jauh dari balkon. Suara nyaring yang dibarengi dengan suara papan yang “ gemblodak “. Tidak lama saya dengan mudah mengenali siapa di balik sosok itu, dan seketika rasa takutpun sirna berganti rasa lucu dan santai. 

Di atas adalah salah satu cerita saya yang mengesankan dengan beliau. Beliau adalah Masykuri Thoyyib atau biasa disapa Gus Kuri. Di pondok itulah pertama kali saya bertemu denga beliau, sebelum akhirnya sering bertemu di acara2 perayaan di luar pondok.

Saat itu saya adalah salah satu satri pondok romadhon di Ponpes Hudatul Muna Jenes, Ponorogo. Seingat saya itu adalah saat kenaikan kelas tiga ke kelas empat Madrasah Ibtidaiyah atau sekitar tahun 1995. Bagi kami santri-santri kecil sosok Mbah Kuri memang sangat akrab. Anak-anak kecil yang sedang mondok kilat ini, jadi merasa lebih betah di pondok meski sedang berjauhan dengan Orang Tua. Tak jarang Mbah Kuri tiba-tiba datang membawa roti yang akhirya dibuat rebutan oleh anak-anak. Pernah suatu kali Mbah Kuri membawa Brem, makanan ringan khas Kota Madiun, kami langsung saja berebut. Karena terlalu banyak yang rebutan, brem itu justru lebih banyak yang jatuh ke lantai dan terinjak-injak daripada yang dimakan anak-anak.


Tiga hari yang lalu ada tulisan menarik di Kompas yang mengulas sosok Unik Mbah Kuri. Penulisnya tidak tanggung-tanggug, dialah Gus Chandra Malik. Seorang penulis aktif, penyair, dan praktisi Sufi. Beberapa tulisannya dimuat di berbagai media online terkenal, seperti halnya di mojok.co, pun dia juga mencipta lagu yang sarat dengan nilai-nilai sufistik. Menariknya, Gus Chandra kan hidupnya di Jogja atau kalau tidak ya di Jakarta, kok tiba-tiba mengenal Mbah Kuri.. ?

Di tulisan Gus Chandra yang mengulas cerita-cerita Mbah Kuri, yang diambil dari narasumber orang-orang terdekat Mbah Kuri, nampak ingin menampilkan sosok wira’i dan karomah beliau. Ya, kita akan mudah mengertinya dengan adanya kata “ Jadzab “ di tulisan tersebut. Beberapa cerita juga memperkuat kesan ke-wali-an Mbah Kuri, seperti merobohkan pohon besar, keber-adaan di tempat yang berbeda dan di waktu yang sama, atau saat beliau dipertemukan dengan Kyai-Kyai sepuh. Bagi saya, saya tidak mengenal sosok Mbah Kuri lebih dari pada yang saya kenal waktu kecil dulu. Ya, sosok dimana kami bisa menemukan diri kami yang lain. Apalagi jika orang minderan, Mbah Kuri tidak segan-segan menyapa kita dan menganggap kita seolah orang penting dan tahu segalanya dengan berbagai pertanyaannya. Sebaliknya, berbagai cerita mengatakan bahwa orang sepenting bupatipun tunduk dengan permintaan Mbah Kuri..

Yaa.. Begitulah beliau. Tidak ada yang menyebut beliau Ahli Agama, ataupun menyebut dirinya sendiri sebagai Ahli Agama. Sederhana, dan begitu saja.. itu saja…

0 Response to Tentang Mbah Kuri Ponorogo

Posting Komentar